Selasa, 21 Juni 2011

Jampersal

MENILIK KEBIJAKAN JAMPERSAL
Oleh : REYTA NOOR O, SKM*

Setiap orang berhak hidup sehat, hal ini sesuai dengan amanat Undang – Undang dasar 1945 pasal 28 H ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Setiap orang baik kaya maupun miskin mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kemudahan dalam mengakses pelayanan kesehatan, oleh karena itu pemerintah bertanggungjawab dalam memenuhi ketersediaan sumberdaya kesehatan yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Kesehatan merupakan salah satu isu strategis dalam rangka mencapai keberhasilan pembangunan suatu bangsa, bahkan mengingat pentingnya peranan tersebut lima diantara delapan target kesepakatan global (Millenium Development Goals / MDGs 2015) adalah target yang harus dicapai dalam bidang kesehatan. Diantara kelima target dalam bidang kesehatan, penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan hal yang paling sulit dicapai mengingat  factor multikompleks yang mempengaruhi akselerasi penurunan AKI dan AKB.
MDGs mentargetkan pada tahun 2015 AKI turun sebesar 3/4 dari tahun 1990 sedangkan AKB turun 2/3 nya dari tahun 1990. Berdasarkan data Survei Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, Angka kematian Ibu di Indonesia adalah 228 /100.000 KH, sedangkan Angka Kematian Bayi 34/1000 KH. Jika menilik target MDGs maka pada tahun 2015 Indonesia harus mampu menurunkan AKI menjadi 102/100.000 KH dan AKB menjadi 23/1000 KH. Berbagai terobosan telah dilaksanakan dalam rangka menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi, namun belum mampu memberikan hasil yang signifikan terhadap penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia. Upaya Akselerasi Penurunan Angka Kematian Ibu dan bayi yang telah dilaksanakan diantaranya adalah Program Safe Motherhood, Program Kemitraan Bidan dan Dukun, Strategi Making Pregnancy safer (MPS), Pengembangan Puskesmas PONED, Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), pelatihan – pelatihan Klinis seperti Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Manajemen Asfiksia, Manajemen Beat bayi Lahir Rendah (BBLR)  dan terobosan yang terbaru adalah pemberian Jaminan Persalinan (Jampersal).
Jaminan Persalinan (Jampersal) merupakan Jaminan pembiayaan persalinan yang meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk pelayanan KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir yang diberikan kepada seluruh ibu hamil. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 631/MENKES/PER/III/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan, program ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2011. Jampersal dimaksudkan untuk mengatasi terhambatnya akses masyarakat khususnya ibu hamil terhadap pelayanan kesehatan karena factor pembiayaan (financial). Salah satu dasar yang menjadi pijakan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan ini adalah hasil riskesdas tahun 2010 yang menyebutkan bahwa persalinan oleh tenaga kesehatan pada kelompok sasaran miskin baru mencapai 69,3 %, sedangkan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan baru mencapai 55,4 %. Ketidaktersediaan biaya merupakan salah satu factor yang menghambat kurangnnya akses persalinan oleh tenaga kesehatan oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan Jaminan persalinan (Jampersal).
Sekilas tidak ada yang salah dengan kebijakan Jampersal, karena tujuannya adalah mendekatkan akses persalinan oleh tenaga kesehatan kepada masyarakat yang pada akhirnya bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Namun ada beberapa hal yang harus dicermati terkait kebijakan Jampersal : Pertama, Efisiensi dan efektifitas. Program Jampersal berlaku bagi semua ibu hamil tanpa terkecuali, hal ini berarti siapapun baik kaya maupun miskin berhak memperoleh Jampersal. Bagi Masyarakat menengah ke atas (baca : mampu) masalah pembiayaan bukanlah faktor yang menghambat akses persalinan oleh tenaga kesehatan, secara financial mereka mampu membayar biaya pemeriksaan kehamilan dan persalinan baik di tingkat pelayanan dasar (puskesmas dan jaringannya) maupun di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (Rumah Sakit/ Balai Kesehatan). Jika mereka telah mampu membiayai pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, apakah mereka juga perlu di jamin pembiayaannya oleh pemerintah ?. Bisa dibayangkan berapa rupiah yang bisa dihemat jika golongan menengah keatas tidak perlu diberi jampersal.
Jampersal barangkali bukan satu – satunya kebijakan yang pro rakyat miskin, sebelumnya pemerintah telah menggulirkan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Program Keluarga Harapan (PKH), bahkan ada beberapa kabupaten /kota yang telah menerapkan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) bagi masyarakat miskin yang tidak termasuk di dalam kuota jamkesmas. Masing – masing kebijakan tersebut tentu saja menerapkan kriteria tentang siapa saja yang termasuk di dalam kategori masyarakat miskin yang berhak mendapatkan jamkesmas, jamkesda maupun PKH. Tujuannya pun sama yaitu menjamin pembiayaan kesehatan untuk rakyat miskin. Pengunaan dana tersebut dikhawatirkan akan saling tumpang tindih, misalnya saja program PKH, salah satu tujuan pemberian PKH yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak diantaranya adalah untuk pemeriksaan kehamilan (antenatal care) minimal 4 kali, Persalinan oleh tenaga kesehatan, pelayanan nifas, dan imunisasi dasar lengkap bagi bayi. Pelayanan yang dijamin oleh jampersal juga meliputi pelayanan – pelayanan tersebut, demikian pula dengan jamkesmas dan jamkesda. Apakah tidak sebaiknya kebijakan yang pro rakyat miskin tersebut dikaji ulang sehingga tidak terkesan ada penumpukan pembiayaan yang saling tumpang tindih ?. Barangkali cukup satu kebijakan saja yang mampu mengakomodir kebutuhan pembiayaan kesehatan untuk rakyat miskin, disamping itu tidak menimbulkan kerancuan bagi pelaksanaan kebijakan tersebut di masyarakat.
Kedua, Kontradiktif. Setiap kebijakan pasti ada pro dan kontra, namun barangkali yang perlu dicermati adalah sejauh mana kebijakan tersebut tidak menghambat pelaksanaan kebijakan lain yang mempunyai tujuan sama. Upaya penurunan AKI dan AKB telah menyita perhatian pemerintah sejak lama, karena berbagai terobosan yang telah dilakukan belum mampu menurunkan AKI dan AKB di Indonesia, bahkan Angka Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia adalah yang tertinggi di antara Negara – Negara ASEAN lainnya. Salah satu program yang belum lama digulirkan oleh Pemerintah adalah Program Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) yang akan mendukung terlaksananya Desa Siaga. Indikator keberhasilan Program P4K diantaranya adalah adanya penandaan ibu hamil melalui Stiker P4K, terbentuknya Ambulans Desa, terbentuknya kelompok kerja Golongan darah serta adanya upaya pembiayaan persalinan melalui Dana Sosial Ibu Bersalin (Dasolin) dan Tabungan Ibu Bersalin (Tabulin). Melalui Dasolin dan Tabulin masyarakat di dorong untuk mempersiapkan biaya persalinan, hal ini merupakan salah satu upaya untuk memberdayakan masyarakat agar bisa membiayai pelayanan kesehatan secara mandiri. Namun melalui program Jampersal, apakah upaya ini masih bisa berlanjut mengingat biaya pemeriksaan kehamilan sampai dengan persalinan telah dijamin oleh pemerintah ?
Ketiga, Mengurangi kemandirian masyarakat. Menurut Sistem Kesehatan Nasional (SKN) masyarakat harus dipacu agar mampu membiayai pelayanan kesehatan secara mandiri. Hal ini berarti masyarakat harus diberdayakan supaya mereka mau dan mampu memobilisasi dana yang ada di masyarakat sehingga mereka tidak tergantung kepada pemerintah. Melalui Jampersal masyarakat akan dimanjakan untuk memperoleh pelayanan kesehatan secara gratis, tanpa harus bersusah payah mengumpulkan uang demi membayar biaya pelayanan.  Apakah tidak sebaiknya alokasi dana jampersal ditujukan untuk kegiatan – kegiatan yang mampu mendorong masyarakat untuk bisa meningkatkan upaya mereka dalam rangka meningkatkan hajat hidup sehingga mereka mampu secara mandiri untuk membiayai pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan ?
Keempat, kesesuaian program. Bagi sebagian masyarakat hambatan financial bukanlah satu – satunya faktor yang menghalangi mereka untuk kontak dengan tenaga kesehatan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan. Salah satu faktor diantaranya adalah budaya masyarakat setempat. Sebagai contoh adalah adanya kepercayaan di masyarakat yang menganggap bahwa persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan  adalah persalinan yang dengan penyulit, kesulitan di dalam proses persalinan kemudian dikaitkan dengan hukuman (baca: karma) yang harus diterima keluarga ibu hamil karena melakukan kesalahan di masa lalu. Jika permasalahannya adalah budaya masyarakat setempat, apakah jaminan pembiayaan persalinan adalah solusi yang tepat
Berbagai hal yang telah penulis paparkan diatas barangkali bisa menjadi bahan perenungan, apakah kebijakan Jampersal ini telah sesuai dengan tujuan yang diharapkan tanpa bermaksud mengkerdilkan pola pikir masyarakat agar bisa mandiri untuk hidup sehat. Setiap kebijakan tentu saja telah melalui proses pengkajian yang cukup panjang, namun adakalanya perlu juga dicermati hal – hal kecil yang akan menghambat pelaksanaan kebijakan tersebut. Ketika kebijakan baru digulirkan hendaknya perlu dilakukan evaluasi terhadap kebijakan yang telah ditetapkan lebih dulu, apakah kebijakan yang lama tersebut masih bisa dilanjutkan ataukah perlu diganti dengan kebijakan yang baru dengan tujuan untuk memperkuat kebijakan yang lama. Upaya pemerintah dalam rangka menurunkan Angka kematian Ibu dan bayi tentu saja membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, karena berbagai kebijakan penurunan AKI dan AKB tidak akan berjalan dengan lancar tanpai campur tangan dari stakeholder terkait.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar